back to top
Minggu, 19 Oktober 2025
BerandaKeuangan5 Faktor Penyebab Utama Kenapa Nilai Uang Turun

5 Faktor Penyebab Utama Kenapa Nilai Uang Turun

Nilai uang turun tidak hanya dipengaruhi faktor domestik, tetapi juga dinamika global seperti proteksionisme AS, kebijakan The Fed, dan pelemahan ekonomi China. Pahami mengapa nilai uang turun di Indonesia. Analisis mendalam tentang inflasi, kebijakan moneter, defisit APBN, dan dampak global yang memengaruhi daya beli masyarakat.

Untuk melindungi aset, masyarakat disarankan berinvestasi dalam instrumen yang tahan inflasi seperti emas, saham sektor komoditas, atau reksadana pasar uang. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi fiskal dan memperkuat sinergi BI-Kemenkeu agar stabilitas Rupiah terjaga.

1. Inflasi: Ancaman Terbesar terhadap Nilai Uang

Inflasi menjadi faktor utama yang menggerus nilai uang. Di Indonesia, tekanan inflasi pada 2025 dipicu oleh kenaikan harga komoditas global seperti minyak mentah (+5,2%) dan batu bara (+11,8%).

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan inflasi tahunan 2025 berada di kisaran 2,5±1%, tetapi gangguan rantai pasok dan perang dagang global berpotensi memperlambat penurunan inflasi.

Dampak Inflasi pada Daya Beli

Inflasi yang tinggi mengurangi nilai riil uang. Contoh nyata terlihat dari penurunan penerimaan pajak PPh 21 hingga 39,5% di awal 2025, yang mencerminkan melemahnya pendapatan masyarakat.

Salah satu program unggulan pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh pemerintah belum merata dan belum terlaksana maksimal sehingga daya beli masyarakat tetap tertekan

Inflasi Struktural: Ketergantungan Impor

Ketergantungan Indonesia pada impor salah satu faktor yang dapat mempengaruhi inflasi, seperti kebutuhan daging sapi saat ini masih membutuhkan impor sekitar 15% dan kebutuhan gandum masih bergantung pada impor sekitar 20%.

Pada 2025, gangguan pasokan global akibat konflik Ukraina dan embargo ekspor India pada beras memicu lonjakan harga beras impor hingga Rp14.500/kg (+18% YoY).

Adanya El Nino memaksa pemerintah untuk impor beras dari Vietnam pada 2024 lalu, untuk memaksimalkan kebutuhan stok beras dalam negeri.

Di sektor energi, kenaikan harga BBM bersubsidi seperti Pertamax Turbo ke Rp16.000/liter (+22%) memperparah inflasi inti. Subsidi energi yang mencapai Rp350 triliun pada 2025 hanya mampu menahan kenaikan harga solar dan premium, sementara harga nonsubsidi tetap meroket.

Kenaikan Upah Minimum dan Efek Berantai

Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 rata-rata 6,5% di Jawa-Bali (misalnya DKI Jakarta naik ke Rp5,2 juta/bulan) memicu inflasi biaya produksi.

Sektor manufaktur mencatat kenaikan harga produk akhir sebesar 8-12% akibat biaya tenaga kerja dan bahan baku. Contohnya, harga semen per sak naik Rp5.000 (+9%), turut mendorong inflasi properti.

Namun, kenaikan upah tidak sebanding dengan inflasi riil. Daya beli buruh di sektor tekstil justru turun 1,8% karena kenaikan harga sembako (telur: +15%, minyak goreng: +12%) lebih cepat daripada penyesuaian upah.

2. Kebijakan Moneter BI dan Suku Bunga

Kebijakan Moneter BI dan suku bunga salah satu faktor mempertahankan stabilitas Rupiah

Kebijakan Bank Indonesia suku bunga tetap di 5,75% pada April 2025 merupakan keputusan untuk tetap menjaga Rupiah tetap stabil.

Namun, kebijakan ini berdampak ganda: di satu sisi mencegah pelemahan mata uang, di sisi lain menghambat pertumbuhan ekonomi karena pinjaman menjadi lebih mahal.

Proyeksi Pemangkasan BI Rate

Analis memprediksi BI akan menurunkan suku bunga ke 5,5% pada kuartal III-2025 untuk merangsang ekonomi. Pemotongan ini berisiko melemahkan Rupiah jika tidak diimbangi dengan aliran modal asing.

Sejak Januari 2025, Rupiah telah menguat 2,59%, tetapi tekanan dari kebijakan The Fed yang menaikkan imbal hasil US Treasury tetap mengancam.

3. Defisit APBN dan Aliran Dividen BUMN

APBN 2025 menghadapi defisit membengkak hingga Rp160 triliun akibat penurunan penerimaan pajak dan pengalihan dividen BUMN senilai Rp90 triliun ke Danantara untuk program investasi.

Dampak Defisit pada Nilai Uang

Defisit yang tinggi memaksa pemerintah menerbitkan lebih banyak Surat Utang Negara (SUN), meningkatkan suplai obligasi di pasar.

Yield SUN 10 tahun naik ke 6,94%, menandakan faktor ketidakpercayaan investor terhadap stabilitas fiskal. Hal tersebut juga dapat meningkatkan capital outflowsehingga mempengaruhi Rupiah.

Baca Juga: Apa Itu Dividen? Definisi, Jenis, dan Cara Kerjanya

4. Gejolak Global: Proteksionisme AS dan Pelemahan Ekonomi China

Kebijakan “America First” era Trump 2.0 mengancam ekspor Indonesia. AS berencana mengenakan tarif 60% pada produk China dan 10-20% untuk negara lain, termasuk Indonesia sebagai penyumbang defisit dagang AS ke-15.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China yang melambat ke 4,5% pada 2025 mengurangi permintaan komoditas Indonesia.

Dampak pada Rantai Pasok dan Ekspor

Perang dagang AS-China menyebabkan penurunan volume perdagangan global sebesar 0,3% pada 2025.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS dan China terancam, memperkecil penerimaan devisa yang vital untuk menjaga cadangan devisa (saat ini US$157,1 miliar).

5. Peran Investor Asing dan Cadangan Devisa

Aliran modal asing ke pasar saham dan SUN Indonesia menjadi penopang Rupiah.

Aliran dana investor asing memborong saham sekitar Rp5,03 triliun dan SUN Rp10 triliun, sehingga IHSG menghijau tembus 7.141 pada 20 Mei 2025

Namun, ketergantungan pada modal asing berisiko jika terjadi capital flight akibat kebijakan Fed atau gejolak geopolitik.

Strategi Pemerintah: Samurai Bond dan Global Bond

Pemerintah merencanakan penerbitan samurai bond (denominasi yen) dan global bond untuk menambah cadangan devisa.

Indonesia menerbitkan global bond pada Januari 2025 senilai US$2 miliar dan EUR1,4 miliar. Kebijakan ini membantu stabilisasi Rupiah, tetapi meningkatkan beban utang luar negeri.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular